Ada seorang anak laki-laki yang
bersifat pemarah. Untuk mengurangi kebiasaan marah sang anak, ayahnya
memberikan sekantong paku dan mengatakan pada anak itu untuk memakukan sebuah
paku di pagar belakang rumah setiap kali dia marah. Hari pertama anak itu telah
memakukan 48 paku ke pagar setiap kali dia marah. Lalu secara bertahap, jumlah
itu berkurang. Dia mulai menyadari bahwa ternyata lebih mudah menahan amarahnya
daripada memakukan paku ke pagar.
Akhirnya tibalah saat dimana anak tersebut
merasa mampu mengendalikan amarahnya dan tidak cepat kehilangan kesabaran. Dia
memberitahukan hal ini kepada ayahnya, yang kemudian mengusulkan agar dia
mencabut satu paku untuk setiap hari yang tidak dilaluinya tanpa amarah.
Hari- hari berlalu dan anak laki-laki itu akhirnya memberitahu ayahnya bahwa semua paku telah tercabut olehnya. Lalu sang ayah menuntun anaknya ke pagar dan berkata : “Hmm, kamu telah berhasil dengan baik anakku, tapi lihatlah lubang-lubang di pagar ini. Pagar ini tidak akan pernah bisa sama seperti sebelumnya. Sama halnya ketika kamu mengatakan sesuatu dalam kemarahan. Kata-katamu akan meninggalkan bekas seperti lubang ini di hati orang lain.”
Hari- hari berlalu dan anak laki-laki itu akhirnya memberitahu ayahnya bahwa semua paku telah tercabut olehnya. Lalu sang ayah menuntun anaknya ke pagar dan berkata : “Hmm, kamu telah berhasil dengan baik anakku, tapi lihatlah lubang-lubang di pagar ini. Pagar ini tidak akan pernah bisa sama seperti sebelumnya. Sama halnya ketika kamu mengatakan sesuatu dalam kemarahan. Kata-katamu akan meninggalkan bekas seperti lubang ini di hati orang lain.”
“Kamu dapat menusukkan pisau pada
seseoarang, lalu mencabut pisau itu. Tetapi tidak perduli berapa kali kamu
minta maaf, luka itu akan tetap ada dan luka karna kata-kata adalah lebih sulit
sembuh daripada luka fisik.”
Anak itu hanya tertunduk dan
makin menyadari bahwa kemarahan tak terkendali adalah perbuatan bodoh yang
sangat merugikan diri sendiri dan orang lain.
No comments:
Post a Comment